Minggu, 29 Juni 2014

About "The Fault in Our Stars"

Gue sebenernya ga yakin gue cukup mampu merangkum buku The Fault in Our Stars dan menceritakan buku ini sebagaimana John Green mau bukunya diceritakan. But, what the heck, if I were as good as John Green, I'd be a writer now. But I'm not. Gue cuma pengen berbagi tentang buku ini, simply because it's beautiful.

Hazel Grace adalah seorang gadis 16 tahun penderita kanker tiroid terminal yang sudah menyebar ke paru-paru. Sehari-hari Hazel harus menyeret-nyeret tangki oksigen dan menggunakan kanula untuk membantu pernapasannya karena paru-parunya yang tidak lagi bisa berfungsi sempurna. Karena kondisi kesehatannya, Hazel harus keluar dari sekolah. Bahkan ibunya memutuskan untuk berhenti bekerja supaya bisa mengawasi Hazel sepenuhnya. Hazel berusaha menjalani hidupnya senormal mungkin. Benci pada rasa kasihan yang ditujukan orang-orang karena penyakitnya. Dan menganalogikan dirinya sebagai granat. Siap meledak kapan saja, meninggalkan orang-orang terdekatnya dan membuat mereka sedih.

Hingga suatu hari, Augustus Waters masuk dalam kehidupan Hazel. Agustus Waters adalah penderita ostesarkoma yang setelah kaki kanannya diamputasi, dinyatakan bebas kanker selama satu setengah tahun terakhir. Berawal dari buku favorit Hazel, The Imperial Affliction, Hazel dan Augustus semakin dekat. Bahkan melakukan perjalanan untuk bertemu pengarang favorit Hazel, Peter Van Houten. Awalnya Hazel ragu-ragu terhadap hubungannya karena tidak mau menjadi "granat" bagi Augustus. Apalagi mantan pacar Augustus pun meninggal karena kanker. Tapi bersama Augustus justru Hazel belajar tentang kesempatan untuk mencintai.

Quick! Character crush? Definitely Augustus Waters!!!
Hazel menggambarkan Augustus Waters sebagai HOT. Oke lah, gambaran standar. Selain itu, pinter. Optimis. Jawaban khas Augustus kalo ditanya kabarnya adalah, "Oh, I'm grand. I'm on a rollercoaster that only goes up, my friend." dan high-spirited. Impian Augustus adalah melakukan sesuatu yang besar sehingga namanya selalu diingat. Dan ketakutan terbesarnya adalah suatu hari dia akan dilupakan, "I fear oblivion. I fear it like a proverbial blind man who's afraid of the dark."

Untuk ngimbangin karakter sedalem Augustus Waters, tentunya kita harus punya seorang Hazel Grace. Saat Augustus menyatakan ketakutannya, Hazel menjawab apa adanya: "There will be no one left to remember Aristotle or Cleopatra, let alone you." Hazel adalah karakter yang pantang menyerah dan berani. Dia menjalani hidupnya dengan praktis dan logis. Kalau kata Augustus, "She walks lightly upon the earth." Secara fisik, Augustus mendeskripsikan Hazel seperti Natalie Portman di V For Vendetta.

Peter Van Houten adalah pengarang The Imperial Affliction, buku favorit Hazel. Menurut gw, karakter Van Houten diikutsertakan untuk menambah pelajaran-pelajaran hidup dalam buku ini. Hazel sangat mengagumi Van Houten dan mendeskripsikannya sebagai "My third best friend was an author who did not know I existed." Walaupun ternyata saat ketemu, Van Houten ga seperti yang dia harapkan. Sekedar peringatan, dialog Van Houten ini cukup bikin gw pusing. Bukan cuma mesti bolak-balik buka kamus untuk mengartikan kata-katanya satu persatu, abis itu gue masih harus mikir untuk mengartikan keseluruhan kalimatnya. Tapi kata-kata Van Houten banyak dikutip oleh Hazel dan Augustus. Salah satunya yang dikutip Hazel adalah, "Some infinities are bigger than other infinities." (Btw, Hazel dan Augustus juga banyak ga nangkep maksud kata-kata Van Houten. Jadi lumayan lah, gw ga ngerasa bego-bego banget.)

Kalau mau menggambarkan buku ini dalam satu kata, mungkin kata yang gue pilih adalah "heartwarming". Karakter Hazel dan Augustus bikin gue kagum. Don't worry, I am not gonna pull the "this book has changed my life and my perspective" kind of crap, tapi membaca cerita orang-orang yang kuat menghadapi hidup itu jadi hiburan tersendiri buat gue. Walopun pada kenyataannya gw yang baca mungkin ga sekuat mereka. Hazel dan Augustus menerima kenyataan bahwa mereka hidup dengan kanker. Mereka bercanda tentang penyakit mereka, sementara gue yang baca malah merasa bersalah tiap mo ketawa. Tapi Hazel dan Augustus menolak menerima bahwa mereka dikalahkan oleh kanker. Makanya mereka benci dengan anggapan klise orang-orang bahwa penderita kanker adalah orang-orang yang berani dan kuat berperang menjalani penyakit mereka bla bla bla. Kalo kata Augustus, "Don't tell me you're one of those people who becomes their disease. I know so many people like that. It's disheartening."

Intinya sih, The Fault in Our Stars bercerita tentang kehidupan remaja yang menderita kanker, apa adanya. Gimana mereka menjalani hubungan satu sama lain. Juga  hubungan mereka dengan orang-orang terdekat yang ga sakit, tapi hidupnya berubah karena mereka. Cara berceritanya John Green enak untuk diikutin. Encouraging tapi ga terkesan menggurui. Berkali-kali gue ketawa-nangis-ketawa-nangis baca buku ini. Bagus banget!

By the way, judul buku ini diambil dari Julius Caesar, karya Shakespeare. Yang aslinya berbunyi, "The fault, dear Brutus, is not in our stars. But in ourselves, that we are underlings." Tapi Peter Van Houten ternyata punya pendapat yang berbeda, hence the title of this book.

The Fault in Our Stars berkesan banget buat gue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar